Sabtu, 21 Februari 2015

artikel kisah sejarah nabi muhammad

Hijrah Rasulullah ke Thaif


Setelah merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy, Rasulullah saw. berangkat ke Thaif mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif serta mengharap agar mereka dapat menerima ajaran yang dibawa dari Allah.
Setibanya di Thaif, beliau menuju ke tempat para pemuka bani Tsaqif sebagai orang-orang yang berkuasa di daerah itu. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak mereka supaya beriman kepad Allah. Akan tetapi, ajakan beliau itu ditolak mentah-mentah dan dijawab dengan kasar. Rasulullah saw. kemudian bangkit meninggalkan mereka seraya berharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangan ini dari kaum Quraisy, tetapi mereka pun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu sehingga mengakibatkan cedera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi beliau, tetapi kewalahan sehingga ia sendiri terluka pada kepalanya.
Setelah Rasulullah saw. sampai ke kebun milik Uqbah bin Rabi’ah, kaum penjahat dan para budak yang mengejar baru berhenti dan kembali. tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua anak Rabi’ah yang sedang berada dalam kebun. Setelah merasa tenang di bawah naungan pohon anggur, Rasulullah saw. berdoa:
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Mahapenyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah Pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tidak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Berkata doa Rasulullah saw. itu tergeraklah rasa iba dalam hati dua orang anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya, seorang Nasrani bernama Addas, kemudian diperintahkan, “Ambillah buah anggur dan berikan kepada orang itu!”
Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw. dan berkata, “Makanlah.” Rasulullah saw. mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah.” Kemudian memakannnya.
Mendengar ucapan beliau, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini.” Rasulullah saw. bertanya, “Kamu dari daerah mana dan apa agamamu?” Addas menjawab, “Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa [sebuah desa di Maushil sekarang].” Rasulullah saw. bertanya lagi: “Apakah kamu dari negeri seorang shalih bernama Yunus anak Mathius?” Rasulullah saw. menerangkan, “Yunus bin Mathius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.” Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw lalu mencium kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kaki beliau.
Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Rasulullah saw. meninggalkan Thaif dan kembali ke Makkah. Ketika sampai di Nikhlah, Rasulullah bangun pada tengah malam melaksanakan shalat. Ketika itulah beberapa makhluk yang disebutkan Allah lewat mendengar bacaan Rasulullah saw. Dan begitu Rasulullah selesai shalat, mereka kembali bergegas kembali kepada kaumnya seraya memerintahkan agar beriman dan menyambut apa yang baru mereka dengar. Kisah ini disebutkan Allah dalam firman-Nya, yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum Kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (al-Ahqaaf: 29-31)
“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,” (al-Jinn: 1)
Rasulullah saw. kemudian bersama Zaid bin Haritsah berangkat menuju Makkah. Saat itu Zaid bertanya kepada Rasulullahs saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?” Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”
Nabi saw. lalu mengutus seorang lelaki dari bani Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw. ingin masuk Makkah dengan “perlindungan” darinya. Keinginan Nabi saw. ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw. kembali memasuki Makkah.

Rabu, 18 Februari 2015

artikel kisah nabi muhammad

Khutbah Haji Wada’

Pada tahun 10H, Rasulullah SAW menunaikan ibadah haji yang kemudian dikenal sebagai Haji Wada’ (Haji Perpisahan).
Pada tanggal 9 Zulhijjah, ketika sampai di lembah sebuah wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berhenti dan kemudian berkhutbah di depan lebih seratus ribu orang yang hadir saat itu.  Itulah peristiwa penyampaian pesan yang begitu menggetarkan, mengesankan dan indah, serta dapat dikatakan merupakan kesimpulan ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang yang sedang merangkak naik menuju tengah hari. Salah seorang sahabat, Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf, diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar dapat didengar di tempat yang jauh dari tempat Rasulullah berada.
Isi khutbah secara tepat ada dalam beberapa hadits, dan berikut ini adalah cuplikan dari khutbah tersebut.
“Wahai manusia sekalian, dengarkanlah perkataanku ini, karena aku tidak mengetahui apakah aku dapat menjumpai kalian lagi setelah tahun ini di tempat wukuf ini”.
(1) Larangan Membunuh Jiwa dan Mengambil Harta Orang Lain Tanpa Hak
Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram/dilindungi, sebagaimana mulianya hari ini di bulan yang mulia ini, di negeri yang mulia ini.
(2) Kewajiban Meninggalkan Tradisi Jahiliyah seperti Pembunuhan Balasan dan Riba
Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak boleh dilaksanakan lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, hari ini semuanya dihapuskan dan tidak boleh berlaku lagi.
Dan hari ini aku nyatakan pembatalan pembunuhan balasan secara jahiliyah yang pertama adalah pembalasan atas terbunuhnya Ibnu Rabi’ah bin Haris yang terjadi pada masa jahiliyah dahulu.
Perjanjian riba yang dilakukan pada masa jahiliyah juga dihapuskan dan tidak berlaku lagi sejak hari ini.  Perjanjian riba pertama yang aku nyatakan tidak berlaku lagi adalah perjanjian riba atas nama pamanku sendiri Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh perjanjian riba itu semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi.
(3) Mewaspadai Gangguan Syaitan dan Kewajiban Menjaga Agama
Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya syetan itu telah berputusasa untuk dapat disembah di negeri ini, akan tetapi syetan akan terus berusaha (untuk menganggu kamu) dengan cara yang lain. Syetan akan berbangga jika kamu sekalian menaatinya untuk melakukan pelanggaran kecil yang terus-menerus. Oleh karena itu hendaklah kamu menjaga agama kamu dengan baik.
(4) Larangan Mengharamkan yang Dihalalkan dan Sebaliknya
Wahai manusia sekalian,
Sesungguhnya mengubah-ubah bulan suci itu akan menambah kekafiran. Dengan cara itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian kamu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkanNya.
Sesungguhnya zaman akan terus berputar, seperti keadaan berputarnya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut : Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah bulan antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban.
(5) Kewajiban Memuliakan Wanita (Isteri)
Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah atas nama Allah dan hubungan badan dengan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.
Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban terhadap isteri kalian dan isteri kalian mempunyai kewajiban terhadap diri kalian. Kewajiban mereka terhadap kalian adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras/tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.
Maka perhatikanlah perkataanku ini, wahai manusia sekalian. Sesungguhnya aku telah menyampaikannya.
(6) Kewajiban Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
Aku tinggalkan bagi kamu sekalian. Jika kalian berpegang teguh dengan apa yang aku tinggalkan itu, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah nabi-Nya (Al-Hadits).
(7) Kewajiban Taat kepada Pemimpin Siapapun Dia Selama Masih Berpegang Teguh pada Al Qur’an.
Wahai manusia sekalian, dengarkanlah dan ta’atlah kalian kepada pemimpin kalian, walaupun kamu dipimpin oleh seorang hamba sahaya dari negeri Habsyah yang berhidung pesek, selama dia tetap menjalankan ajaran Kitabullah (Al- Quran) kepada kalian semua.
(8) Kewajiban Berbuat Baik kepada Hamba Sahaya.
Lakukanlah sikap yang baik terhadap hamba sahaya. Berikanlah makan kepada mereka dengan apa yang kamu makan dan berikanlah pakaian kepada mereka dengan pakaian yang kamu pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak dapat kamu ma’afkan, maka juallah hamba sahaya tersebut dan janganlah kamu menyiksa mereka.
(9) Umat Islam adalah Bersaudara antara Satu dengan Lainnya.
Wahai manusia sekalian.
Dengarkanlah perkataanku ini dan perhatikanlah.
Ketahuilah oleh kamu sekalian, bahwa setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, dan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan kerelaan pemiliknya yang telah memberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.
(10) Kewajiban Menyampaikan Khutbah Rasulullah SAW kepada Orang Lain
Ya Allah, sudahkah aku menyampaikan pesan ini kepada mereka?
Kamu sekalian akan menemui Allah, maka setelah kepergianku nanti janganlah kamu menjadi sesat seperti sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain.
Hendaklah mereka yang hadir dan mendengar khutbah ini menyampaikan kepada mereka yang tidak hadir. Mungkin nanti orang yang mendengar berita tentang khutbah ini lebih memahami daripada mereka yang mendengar langsung pada hari ini.
Kalau kamu semua nanti akan ditanya tentang aku, maka apakah yang akan kamu katakan? Semua yang hadir bergemuruh menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan tentang risalah-risalah tuhanmu, engkau telah menunaikan amanah, dan telah memberikan nasehat”. Sambil menunjuk ke langit, Rasulullah kemudian bersabda, ”Ya Allah, saksikanlah pernyataan mereka ini, ya Allah saksikanlah pernyatan mereka ini, ya Allah saksikanlah pernyataan mereka ini”.

artikel kisah nabi muhammad

Hijrah Ke Madinah

HIJRAH KE MADINAH


Usai Bai'atul-'Aqabah kedua, kaum Anshar pun kembali ke Madinah. Mereka sangat antusias menunggu dan mengharap kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Sementara itu, kaum muslimin yang mendengar kesepakatan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Anshâr juga sudah siap berhijrah ke Madinah.

FAKTOR PENYEBAB HIJRAH
Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin ini bukan tanpa alasan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu untuk melakukan hijrah.

Pertama : Karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Begitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpikir untuk mencari perlindungan di luar Makkah. Sehingga terjadilah hijrah kaum muslimin ke Habsyah, Thaif, dan kemudian ke Madinah.

Penyebab hijrah ini, di antaranya karena penyiksaan dan penindasan kaum kafir Quraisy atas kaum muslimin. Riwayat yang menguatkan faktor ini, tersirat dalam perkataan Bilal Radhiyallahu anhu ketika ia hendak berhijrah:

اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ

Wahai Allah ! Laknatlah Syaibah bin Rabî'ah, 'Utbah bin Rabî'ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami ke negeri derita.[1]

Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang hijrahnya orang tuanya. Beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخُرُوجِ حِينَ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْأَذَى

Abu Bakr Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhijrah, ketika penderitaannya terasa berat.[2]

Kedua :Adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan leluasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam nash Bai'atul-'Aqabah kedua. Yaitu kaum Anshâr berjanji akan melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana melindungi anak dan istri mereka.

Ketiga : Para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya. Dengan kondisi seperti ini, maka beliau n ingin mendakwahkan kepada masyarakat lainnya yang mau menerimanya. Banyak dalil yang menunjukkan faktor ini, di antaranya ialah sebagaimana perkataan Sa'ad bin Mu'âdz Radhiyallahu anhu :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أُجَاهِدَهُمْ فِيكَ مِنْ قَوْمٍ كَذَّبُوا رَسُولَكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَخْرَجُوهُ

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai untuk aku jihadi mereka karena-Mu daripada suatu kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya.[3]

Keempat : Kaum muslimin khawatir agama mereka terfitnah. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang hijrah, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ

Kaum mukminun pada masa dahulu, mereka pergi membawa agama mereka menuju Allah dan Rasul-Nya karena khawatir terfitnah.[4]

Itulah beberapa faktor yang mendorong kaum muslimin berhijrah, meninggalkan negeri Makkah menuju negeri yang baru, yaitu Madinah. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla .

Khabbab Radhiyallahu anhu berkata:

هَاجَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ نَلْتَمِسُ وَجْهَ اللَّهِ فَوَقَعَ أَجْرُنَا عَلَى اللَّهِ

Kami hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari wajah Allah, sehingga ganjaran kami benar-benar di sisi Allah Azza wa Jalla.[5]

MENGAPA MEMILIH HIJRAH KE MADINAH?
Nash-nash yang shahîh menunjukkan, pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Madinah sebagai negeri hijrah kaum muslimin, merupakan pilihan yang berdasarkan wahyu ilahi. Sebagaimana hal ini tertera dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أُهَاجِرُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى أَرْضٍ بِهَا نَخْلٌ فَذَهَبَ وَهَلِي إِلَى أَنَّهَا الْيَمَامَةُ أَوْ هَجَرُ فَإِذَا هِيَ الْمَدِينَةُ يَثْرِبُ

Aku pernah mimpi berhijrah (pindah) dari Makkah menuju suatu tempat yang ada pohon kurmanya. Lalu aku mengira daerah itu ialah Yamamah atau Hajr (Ahsâ`), (namun) ternyata daerah itu adalah Yatsrib.[6]

Juga hadits:

إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ

Aku diperlihatkan negeri hijrah kalian, yaitu satu negeri yang memiliki pohon kurma di antara dua harrah. [7]

Mendengar penuturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka kaum muslimin pun kemudian bergegas melakukan hijrah ke Madinah. Begitu juga sebagian kaum muslimin yang sedang berada di Habsyah, mereka segera berangkat menuju Madinah.

YANG PERTAMA KALI BERANGKAT HIJRAH KE MADINAH
Imam Bukhaari[8] menyebutkan, yang pertama kali berangkat hijrah ke Madinah ialah Mush'ab bin Umair dan 'Abdullah bin Ummi Maktûm. Sedangkan Ibnu Ishâq[9] dan Ibnu Sa'ad[10] menyebutkan, yang pertama kali berhijrah ialah Abu Salamah bin al Asad. Musa bin 'Uqbah memilih yang kedua.

Ibnu Hajar[11] menyebutkan, di antara hadits-hadits yang dibawakan penulis kitab al-Maghazi, Syiyar, dan hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhâri masih bisa dipertemukan, dengan membawa pengertian "yang pertama kali" pada sisi tertentu. Yaitu Abu Salamah meninggalkan Makkah tidak dengan niatan menetap di Madinah, namun hanya menghindari penindasan kaum kafir Quraisy. Berbeda dengan Mush'ab yang memang sejak awal berniat menetap di Madinah untuk memberi pengajaran kepada penduduk Madinah atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jadi, masing-masing di antara dua orang ini dilihat dari satu sisi. Abu Salamah ialah orang yang pertama kali hijrah ke Madinah untuk menghindari penindasan kaum kafir Quraisy. Sedangkan Mush'ab ialah orang yang pertama kali hijrah ke Madinah dengan niat menetap di Madinah.

Kemudian setelah itu, kaum muslimin berdatangan ke Madinah. Bilal bin Rabbah datang bersama Sa'ad bin Abi Waqâsh dan 'Ammâr bin Yâsir, kemudian menyusul 'Umar bin al-Khaththab.

RESPON KAUM KAFIR QURAISY TERHADAP HIJRAH KAUM MUSLIMIN
Melihat kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah, bagaimanakah sikap kaum kafir Quraisy?

Pemandangan ini sangat menyakitkan hati kaum kafir Quraisy. Sehingga mendorong mereka melakukan berbagai upaya untuk menghalangi kaum muslimin hijrah. Misalnya dengan menahan harta kaum muslimin dan melarang membawanya. Terkadang dengan menahan dan mengurung sebagian anggota keluarga kaum muslimin. Disamping itu, mereka juga melakukan supaya kaum muslimin yang sudah berada di Madinah kembali ke Makkah.

Namun upaya kaum kafir Quraisy ini tidak membuat kaum muslimin bergeming dari niat semula. Mereka benar-benar sudah siap berpisah dengan harta benda miliknya, keluarganya, dan kenikmatan dunia dan penghidupan lainnya yang telah mereka peroleh di Makkah, demi menyambut panggilan aqidah. Dan sungguh, hijrah ini menjadi pijakan pertama berkibarnya panji tauhid.

artikel kisah nabi muhammad

Pembangunan hajar aswad
 
Kisah Pembangunan Ka’bah dan Peletakan Hajar Aswad
Ketika Rasulullah berusia tiga puluh lima tahun, beliau belum diangkat oleh Allah sebagai seorang nabi. Waktu itu kota Makkah dilanda banjir besar yang meluap sampai ke Masjidil Haram. Orang-orang Quraisy menjadi khawatir banjir ini akan dapat meruntuhkan Ka’bah.
Selain itu, bangunan Ka’bah dulunya belumlah beratap. Tingginya pun hanya sembilan hasta. Ini menyebabkan orang begitu mudah untuk memanjatnya dan mencuri barang-barang berharga yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu bangsa Quraisy akhirnya sepakat untuk memperbaiki bangunan Ka’bah tersebut dengan terlebih dahulu merobohkannya.
Untuk perbaikan Ka’bah ini, orang-orang Quraisy hanya menggunakan harta yang baik-baik saja. Mereka tidak menerima harta dari hasil melacur, riba dan hasil perampasan.
Di awal-awal perbaikan, pada awalnya mereka masih takut untuk merobohkan Ka’bah. Akhirnya salah seorang dari mereka yang bernama Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy bangkit mengawali perobohan tersebut. Setelah melihat tidak ada hal buruk yang terjadi pada Al-Walid, orang-orang Quraisy pun mulai ikut merobohkan Ka’bah sampai ke bagian rukun Ibrahim.
Mereka kemudian membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagian-bagiannya sendiri. Pembangunan kembali Ka’bah ini dipimpin oleh seorang arsitek dari bangsa Romawi yang bernama Baqum.
Rasulullah ikut Membangun
Rasulullah sendiri ikut bersama-sama yang lain membangun kabah. Beliau bergabung bersama paman beliau Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau mengambil batu-batu, Abbas menyarankan kepada beliau untuk mengangkat jubah beliau hingga di atas lutut. Namun Allah menakdirkan agar aurat beliau senantiasa tertutup, sehingga belum sempat beliau mengangkat jubahnya, beliau jatuh terjerembab ke tanah.
Beliau kemudian memandang ke atas langit sambil berkata, “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku”. Setelah itu aurat beliau tidaklah pernah terlihat lagi.

Peletakan Hajar Aswad

Sebelum kita lanjutkan kisah ini, tahukah kalian apa itu hajar aswad?
Hajar Aswad adalah sebuah batu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari surga. Dulu batu itu berwarna putih, namun karena dosa-dosa anak Adam, maka batu itu pun berubah menjadi berwarna hitam.
Nah, ketika pembangunan sudah sampai ke bagian Hajar Aswad, bangsa Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari. Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah.
Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini.
Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu masjid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut.
Rasulullah pun kemudian menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya?
Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan di tengah-tengan selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut.
Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.

Akhir Pembangunan Ka’bah

Bangsa Quraisy akhirnya kehabisan dana dari penghasilan baik-baik yang mereka kumpulkan. Mereka akhirnya menyisakan bangunan Ka’bah di bagian utara seukuran enam hasta yang kemudian disebut Al-Hijir atau Al-Hathim.
Mereka juga membuat pintu Ka’bah lebih tinggi daripada permukaan tanah. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Ka’bah pun selesai dibangun kembali. Tingginya sekarang lima belas meter, panjang sisinya di bagian Hajar Aswad dan sebaliknya adalah sepuluh meter. Hajar aswad sendiri diletakkan satu setengah meter dari lantai. Adapun sisi yang lain panjangnya dua belas meter. Pintu Ka’bah diletakkan dua meter dari permukaan tanah. (*)

artikel kisah nabi muhammad

Keteladanan Nabi: Murah Hati, Akhlak Mulia, Rendah Hati, Zuhud



Mengani kisah teladan akhlak yang mulia dari Nabi Muhammad SAW (Pembahasan "Keteladanan dalam Akhlak", kebanyakan dinukil dari buku penulis, "Hatta Yalama 'sy-Syahab", dengan beberapa perubahan)), maka cukup bagi saya untuk menyebutnya, meski hanya satu contoh, tentang segala yang berkait dengan budi pekertinya yang mulia, termasuk segi- segi keagungannya yang universal, baik yang berhubungan dengan kemurahan hati dan zuhud, atau dengan kerendahan hati dan kesantunannya, dengan kekuatan dan keberaniannya, atau yang berhubungan dengan berpolitik dan keteguhannya memegang prinsip. 
Tentang keteladanan bermurah hati, maka Rasulullah saw. selalu memberi tanpa takut terhadap kekurangan dan kemiskinan. Beliau lebih murah hati daripada angin yang berhembus, terlebih lagi jika pada bulan Ramadhan. 
Al-Hafizh Abu Syaikh meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Ia berkata:
 لَمْ يُسْأَلْ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ عَلَى الإِسْلاَمِ إِلاَّ أَعْطَاهُ، وَأَنَّ رَجُلاً أَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَأَعْطَاهُ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ ، فَرَجَعَ إِلَى قَوْمِهِ ، فَقَالَ ׃ أَسْلِمُوا ، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِيْ عَطَاءَ مَنْ لاَ يَخْشَىَ الْفَاقَةَ٠ 
Rasulullah saw. tidak pernah diminta - sesuatu dalam Islam kecuali beliau memberinya. Sesungguhnya ada seorang laki- laki yang datang kepadanya dan meminta, maka Rasulullah saw. memberi kambing antara dua gunung, maka laki-laki tersebut pulang ke kaumnya, dan berkata kepada mereka, "Masuklah kalian agama Islam. Karena sesungguhnya Muhammad memberikan pemberian tanpa merasa khawatir menjadi sengsara". 
Dan dari Anas diriwayatkan:
 مَاسُئِلَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ ٬ قَالَ ׃ لاَ 
Rasulullah saw, tidak pernah dimintai sesuatu dan berkata “tidak” (menolak). Tentang keteladanan zuhud, Abdullah bin Mas’ud berkata:
 دَخَلْتُ عَلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ قَامَ عَلَى حَصِيْرٍ٬ لَقَدْ أَثَّرَ فِى جَنْبِهِ الشَّرِيْفِ٬ فَقُلْتُ ׃ يَا رَسُوْلَ اﷲِ٬ لَوِاتَّخَْذْنَا لَكَ وِطَاءً تَجْعَلَهُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْْحَصِيْرِيَقِييْكَ مِنْهُ فَقَالَ ׃ مَالِى وَلِلدُُّنْيَا ٬ مَاأَنَا وَالدُُّنْيَا إِلاَّكَرَاكِبٍ اِسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا٬ وَهُوَ الْقَائِلُ ׃ اَللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ كَفَافًا 
Aku menemui Rasulullah saw. ketika beliau baru bangun dari sebuah tikar yang telah memberi bekas pada punggungnya yang mulia. Maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku buatkan untukmu alas yang melindungi tubuhmu dari tikar tersebut?" Rasulullah saw. bersabda, "Apalah aku dengan dunia ini. Apalah arti dunia bagiku. Hidup di dunia ini semata-mata hanya seperti seorang pengembara yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkan pohon tersebut". Beliau adalah yang berkata, "Ya Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad pas-pasan". 
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. Bahwa ia berkata:
 مَاشَبَعَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْرِبُرٍّ ﴿حِنْطَةٍ﴾ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ حَتَّى مَضَى لِسَبِيْلِهِ 
Rasulullah saw. tidak pernah kenyang dengan roti gandum tiga hari berturut-turut sejak datang ke Madinah hingga berlalu untuk jalannya (beliau wafat). Ahmad meriwayatkan dari Anas ra.:
 إِنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اﷲُ عَنْهَانَا وَلَتِ النَّبِيِّ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِسْرَةً مِنْ خُبْزِ الشَّعِيْرِ٬ فَقَالَ لَهَا عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ׃ هَذَا أَوَّلُ طَعَامٍ أَكَلَهُ أَبُوْكَ مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ 
Sesungguhnya Fatimah ra. memberi Rasulullah saw. sekerat roti gandum, maka Rasulullah saw. berkata kepada putrinya itu, "Ini adalah makanan yang pertama kali ayahmu makan sejak tiga hari". 
Bagaimana Rasulullah saw. tidak menjadi teladan yang tinggi dalam zuhud, sedang beliau adalah pelaksana apa yang diinginkan Allah, yang berfirman kepadanya: 
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Q.S. 20:131) 
Hendaklah kita tidak mempunyai pengertian bahwa Rasulullah saw. berzuhud karena beliau fakir atau sedikit makanan. Jika beliau menginginkan kehidupan yang melimpah ruah, bersenang-senang dengan bunga kehidupan dunia, maka dunia akan tunduk kepadanya untuk memberikan segala apa yang beliau ingini. Tetapi dari zuhudnya itu beliau menginginkan beberapa masalah, yang di bawah ini penyusun sebutkan beberapa yang paling penting: 
  • Beliau hendak mengajarkan kepada generasi Muslim dengan zuhudnya itu akan arti tolong-menolong, pengurbanan dan mendahulukan orang lain. Al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Aisyah ra. bahwa ia berkata:
 مَاشَبَعَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مُتَوَاِلَيْةٍ وَلَوْشِئْنَا شَبَّعْنَا وَلَكِنَّهُ يُؤَثِرُ عَلَى نَفْسِهِ 
Selama tiga hari berturut-turut, Rasulullah saw. tidak merasa kenyang. Dan jika kami inginkan, kami dapat mengenyangkan beliau, tetapi beliau lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Dan telah kita sebutkan. bahwa Rasulullah saw. memberi pemberian dengan tidak merasa khawatir akan ditimpa kemiskinan. 
  • Beliau menginginkan agar generasi Muslim meneladani hidup dengan kecukupan yang memuaskan, karena dikhawatirkan mereka akan terbuai oleh bunga kehidupan dunia yang memalingkan mereka dari kewajiban dakwah dan meninggikan kalimah Allah. Juga dikhawatirkan akan tenggelam dalam kehidupan dunia, sehingga membinasakan mereka sebagaimana orang-orang terdahulu. 
  • Beliau menginginkan untuk memberikan pemahaman kepada orang yang hatinya diliputi berbagai macam penyakit, seperti kaum munafik dan kafir, bahwa dari dakwah yang beliau serukan kepada umat manusia tidak menginginkan harta dan kesenangan fana, palsu, bukan pula kemewahan dan kenikmatan duniawi, bukan mengejar dunia dengan mengatasnamakan agama. Tetapi yang beliau inginkan adalah mendapatkan pahala Allah semata. Syi'amya, adalah syi'ar para Nabi sebelumnya:
Hai hambaku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruahku. Upahku hanyalah dari Allah. (Q.S. 11:29) 
Tentang teladan Kerendahan hati, adalah beliau yang selalu mengucapkan salam kepada para sahabatnya, memperhatikan secara serius terhadap pembicaraan mereka, baik kecil maupun besar. Jika beliau bersalaman, maka tidak akan menarik tangannya sebelum orang yang disalaminya melepaskan. Beliau selalu menghadiri pertemuan para sahabatnya hingga usai. Beliau pergi ke pasar, membawa barang-barangnya sendiri dan berkata, "Aku adalah yang lebih berhak untuk membawanya". Beliau tidak merendahkan pekerjaan buruh, baik sewaktu membangun masjidnya yang mulia maupun sewaktu menggali parit. Beliau selalu memenuhi undangan orang merdeka, budak maupun hamba perempuan, menerima udzur orang yang berudzur, menambal bajunya dan memperbaiki sandalnya, bahkan tidak segan melakukan tugas ibu rumah tangga. Beliau juga menambatkan untanya, makan bersama Khadam, memenuhi hajat orang lemah dan sengsara. Beliau pun duduk di atas tanah ... 
Bagaimana Rasulullah saw. tidak memiliki kerendahan hati ini, sedang Allah berfirman kepadanya: 
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (Q.S. 26:215)

artikel kisah nabi muhammad

Sejarah Lengkap Masjid Nabawi

Mei 30, 2014

Masjid Nabawi Hari Ini
Salah satu peninggalan sejarah kehidupan makhluk paling mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih dan akan terus disaksikan oleh dunia adalah Masjid yang beliau bangun di kota madinah yang kita kenal dengan nama Masjid Nabawi. Masjid Nabawi yang saat ini kita lihat berdiri begitu megah dahulunya hanyalah sebuah bangunan sederhana. Bagaimana kisah selengkapnya dari perjalanan panjang sejarah masjid ini, mari kita simak bersama. (~admin~)
Pembangunan Masjid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun Masjid Nabawi pada bulan Raibul Awal di awal-awal hijarahnya ke Madinah. Pada saat itu panjang masjid adalah 70 hasta dan lebarnya 60 hasta atau panjangnya 35 m dan lebar 30 m. Kala itu Masjid Nabawi sangat sederhana, kita akan sulit membayangkan keadaannya apabila melihat bangunannya yang megah saat ini. Lantai masjid adalah tanah yang berbatu, atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga pintu, sementara sekarang sangat besar dan megah.

Masjid Nabawi di awal pembangunan, Kiblat menghadap Masjid al-Aqsha. Sebelah Utara masjid adalah kamar Aisyah
Area yang hendak dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bani Najjar, “Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?” Orang-orang Bani Najjar menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini kecuali hanya kepada Allah.” Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan dan tanah mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi dan mereka berharap pahala dari sisi Allah atas amalan mereka tersebut.
Anas bin Malik yang meriwayatkan hadis ini menuturkan, “Saat itu di area pembangunan terdapat kuburan orang-orang musyrik, puing-puing bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memindahkan mayat di makam tersebut, meratakan puing-puing, dan menebang pohon kurma.”
Pada tahun 7 H, jumlah umat Islam semakin banyak, dan masjid menjadi penuh, Nabi pun mengambil kebijakan memperluas Masjid Nabawi. Beliau tambahkan masing-masing 20 hasta untuk panjang dan lebar masjid. Utsman bin Affan adalah orang yang menanggung biaya pembebasan tanah untuk perluasan masjid saat itu. Peristiwa ini terjadi sepulangnya beliau dari Perang Khaibar.
Masjid Nabawi adalah masjid yang dibangun dengan landasan ketakwaan. Di antara keutamaan masjid ini adalah dilipatgandakannya pahala shalat di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid al-Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mimbar Nabi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Awalnya Nabi berkhutbah di atas potongan pohon kurma kemudian para sahabat membuatkan beliau mimbar, sejak saat itu beliau selalu berkhutbah di atas mimbar. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah Jumat berdiri di atas potongan pohon kurma, lalu ada seorang perempuan atau laki-laki Anshar mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami membuatkanmu mimbar?’  Nabi menjawab, ‘Jika kalian mau (silahkan)’. Maka para sahabat membuatkan beliau mimbar. Pada Jumat berikutnya, beliau pun naik ke atas mimbarnya, terdengarlah suara tangisan (merengek) pohon kurma seperti tangisan anak kecil, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya. Pohon it uterus ‘merengek’ layaknya anak kecil. Rasulullah mengatakan, ‘Ia menagis karena kehilangan dzikir-dzikir yang dulunya disebut di atasnya’.” (HR. Bukhari)
Di antara keagungan dan keutamaan mimbar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersumpah di dekatnya, barangsiapa bersumpah di dekat mimbar tersebut dia telah berdusta dan berdosa.
لَا يَحْلِفُ عِنْدَ هَذَا الْمِنْبَرِ عَبْدٌ وَلَا أَمَةٌ، عَلَى يَمِينٍ آثِمَةٍ، وَلَوْ عَلَى سِوَاكٍ رَطْبٍ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
“Janganlah seorang budak laki-laki atau perempuan bersumpah di dekat mimbar tersebut. Bagi orang yang bersumpah, maka dia berdosa…” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim)
Raudhah
Raudhah adalah suatu tempat di Masjid Nabawi yang terletak antara mimbar beliau dengan kamar (rumah) beliau. Rasulullah menerangkan tentang keutamaan raudhah,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي قال: “مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara rumahku dan mimbarku terdapat taman di antara taman-taman surga. Dan mimbarku di atas telagaku.” (HR. Bukhari).
Jarak antara mimbar dan rumah Nabi adalah 53 hasta atau sekitar 26,5 m.
Shufah Masjid Nabawi
Setelah kiblat berpindah (dari Masjid al-Aqsha mengarah ke Ka’baj di Masjid al-Haram). Rasulullah mengajak para

Masjid Nabawi, Kiblat Mekah
sahabatnya membangun atap masjid sebagai pelindung bagi para sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka adalah orang-orang yang hijrah dari berbagai penjuru negeri menuju Madinah untuk memeluk Islam akan tetapi mereka tidak memiliki kerabat di Madinah untuk tinggal disana dan belum memiliki kemampuan finasial untuk membangun rumah sendiri. Mereka ini dikenal dengan ash-habu shufah.
Rumah Nabi
Mungkin kata rumah terlalu berlebihan untuk menggambarkan kediaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya lebih tepat kalau kita sebut dengan istilah kamar. Kamar Nabi yang berdekatan dengan Masjid Nabawi adalah kamar beliau bersama ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Nabi Muhammad dimakamkan di sini, karena beliau wafat di kamar Aisyah, kemudian Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dimakamkan pula di tempat yang sama pada tahun 13 H, lalu Umar bin Khattab pada tahun 24 H.
Keadaan Makam Nabi
Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kiblat kemudian di belakang beliau (dikatakan di belakang karena menghadap kiblat) terdapat makam Abu Bakar ash-Shiddiq dan posisi kepala Abu Bakar sejajar dengan bahu Nabi. Di belakang makam Abu Bakar terdapat makam Umar bin Khattab dan posisi kepala Umar sejajar dengan bahu Abu Bakar. Di zaman Nabi kamar beliau berdindingkan pelepah kurma yang dilapisi dengan bulu. Kemudian di zaman pemerintahan Umar bin Khattab dinding kamar ini diperbaiki dengan bangunan permanen.
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah ia kembali merenovasi kamar tersebut, lebih baik dari sebelumnya. Setelah dinding tersebut roboh dan menyebabkan kaki Umar bin Khattab terlihat (kemungkinan roboh karena faktor alam sehingga tanah makam tergerus dan kaki Umar menjadi terlihat), Umar bin Abdul Aziz kembali membenahinya dengan bangunan batu hitam. Setelah itu diperbaiki lagi pada tahun 881 H.
Subhanallahu, kejadian ini menunjukkan kebenaran sabda Nabi bahwa jasad seorang yang mati syahid itu tidak hancur. Umar bin Khattab syahid terbunuh ketika menunaikan shalat subuh.
Usaha Pencurian Jasad Nabi
Pertama, pencurian jasad Nabi di makamnya pertama kali dilakukan oleh seorang pimpinan Dinasti Ubaidiyah, al-hakim bi Amrillah (wafat 411 H). Ia memerintahkan seorang yang bernama Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far. Al-Hakim memerintahkan Hasan bin Ja’far agar memindahkan jasad Nabi ke Mesir. Namun dalam perjalanan menuju Madinah angin yang kencang membinasakan kelompok Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far.
Kedua, gagal pada upaya pertamanya, al-Hakim bi Amrillah belum bertaubat dari makar yang ia lakukan. Ia memerintahkan sejumlah orang untuk melakukan percobaan kedua. Al-Hakim bi Amrillah mengirim sekelompok orang penggali kubur menuju Madinah. Orang-orang ini diperintahkan untuk menetap beberapa saat di daerah dekat Masjid Nabawi. Beberapa saat mengamati keadaan, mereka mulai melaksanakan aksinya dengan cara membuat terowongan bawah tanah. Setelah dekat dengan makam, orang-orang menyadari adanya cahaya dari bawah tanah, mereka pun berteriak “Ada yang menggali makam Nabi kita!!” Lalu orang-orang memerangi sekelompok penggali kubur ini dan gagallah upaya kedua dari al-Hakim bi Amrillah. Kedua kisah ini selengkapnya bisa dirujuk ke buku Wafa al-Wafa, 2: 653 oleh as-Samhudi.
Ketiga, upaya pencurian jasad Nabi kali ini dilakukan atas perintah raja-raja Nasrani Maroko pada tahun 557 H. saat itu Nuruddin az-Zanki adalah penguasa kaum muslimin di bawah Khalifah Abbasiyah. Dalam mimpinya Nuruddin az-Zanki bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan “Selamatkan aku dari dua orang ini -Nabi menunjuk dua orang yang terlihat jelas wajah keduanya dalam mimpi tersebut-.” Nuruddin az-Zanki langsung berangkat menuju Madinah bersama dua puluh orang rombongannya dan membawa harta yang banyak. Setibanya di Madinah, orang-orang pun mendatanginya, setiap orang yang meminta kepadanya pasti akan dipenuhi kebuthannya.
Setelah 16 hari, hampir-hampir seluruh penduduk Madinah datang menemuinya, namun ia belum juga melihat dua orang yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya. Ia pun bertanya, “Adakah yang tersisa dari penduduk Madinah?” Masyarakat menjawab, “Ada, dua orang kaya yang sering berderma, mereka berasal dari Maroko.” Masyarakat menyebutkan tentang keshalehan keduanya, tentang shalatnya, dan apabila keduanya dipinta pasti memberi. Ternyata dua orang inilah yang dilihat az-Zanki dalam mimpinya dan keduanya sengaja tinggal sangat dekat dengan kamar Nabi. Az-Zanki menanyakan perihal kedatangan mereka ke Madinah. Keduanya menjawab mereka hendak menunaikan haji.
Az-Zanki menyelidiki dan mendatangi tempat tinggal mereka, ternyata rumah tersebut kosong. Saat ia mengelilingi tempat tinggal dua orang Maroko ini, ternyata ada sebuah tempat –semisal ruangan kecil- yang ada lubangnya dan berujung di kamar Nabi. Keduanya tertangkap ‘basah’ hendak mencuri jasad Nabi, keduanya pun dibunuh di ruang bawah kamar Nabi tersebut. Selengkapnya lihat Wafa al-Wafa 2: 648.
Keempat, upaya pencurian jasad Nabi oleh orang-orang Nasrani Syam. Orang-orang ini masuk ke wilayah Hijaz, lalu membunuh para peziarah kemudian membakar tempat-tempat ziarah. Setelah itu mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengambil jasad Nabi di makamnya. Ketika jarak mereka denga kota Madinah tinggal menyisakan perjalanan satu hari, mereka bertemu dengan kaum muslimin yang mengejar mereka. Mereka pun dibunuh dan sebagiannya ditangkap oleh kaum muslimin (Rihlatu Ibnu Zubair, Hal: 31-32)

artikel kisah nabi muhammad

Gua Hira, Tempat Nabi Muhammad SAW Pertama Kali Menerima Wahyu

Gua Hira adalah tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah yang pertama kalinya melalui malaikat Jibril. Gua tersebut sebagai tempat Nabi Muhammad menyendiri dari masyarakat yang pada saat itu masih belum beriman kepada Allah. Gua Hira terletak di negara Arab Saudi. Letaknya pada tebing menanjak yang agak curam walau tidak terlalu tinggi, oleh karena itu untuk menuju gua itu setiap orang harus memiliki fisik yang kuat.

Saling Berebut di Gua Hira

 
Perjalanan ibadah haji bagi para jamaah haji bukan hanya melakukan rukun dan sunnah ibadah haji. Tapi, mereka juga melakukan ziarah. Salah satu tempat ziarah yang diburu para jamaah haji adalah gua Hira di Jabal Nur. Mereka berebut masuk ke dalam gua hira yang sangat sempit itu. Fajar juga belum muncul. Azan subuh masih akan berkumandang 1 jam lagi. Tapi, sejumlah jamaah haji nekat mendaki gunung berbatu menembus hembusan angin dingin kota Makkah. Di antara mereka tampak jamaah haji dari Pakistan dan Turki yang berbadan besar, juga jamaah haji asal Indonesia yang berbadan lebih kecil. Sejak pukul 04.30 Waktu Arab Saudi (WAS), barisan orang yang mendaki gunung itu sudah terlihat. Mereka ingin salat subuh di atas gunung itu. Ketika hari makin siang, maka bertambah banyaklah orang-orang yang mendaki gunung ini. Nama gunung itu, Jabal Nur, yang berarti ‘Gunung Cahaya’. Gunung ini terletak 6 km sebelah utara Masjidil Haram. Di lima meter bawah puncak gunung terdapat gua Hira. Di gua inilah, berabad-abad lalu, Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu pertama, yaitu surat Al Alaq ayat 1-5. Gua Hira inilah yang dijadikan rebutan para peziarah. Mereka ingin memasuki gua yang menjadi tempat bertemunya Rasulullah dengan Malaikat Jibril itu. Padahal, gua ini hanya berukuran sempit, cukup hanya untuk empat orang saja. Untuk menuju puncak gunung, seseorang rata-rata memerlukan waktu selama 1 jam dari dasar gunung. Medannya cukup sulit. Tidak ada titian tangga yang teratur dari dasar tangga, seperti yang ada di Jabal Rahmah. Para peziarah harus mendaki melewati batu-batu terjal. Harus ekstra hati-hati! Jalan bertangga hanya ditemukan setelah 3/4 perjalanan. Menjelang puncak gunung, peziarah bisa mendaki dengan sedikit agak santai. Begitu sampai di puncak gunung, peziarah sudah dengan gampang melihat Gua Hira. Saat ini, di samping gua itu terdapat tulisan ‘Ghor Khira’ berwarna merah yang berarti Gua Hira. Di atas tulisan itu juga dituliskan dua ayat awal surat Al Alaq dengan cat warna hijau. Gua Hira terletak persis di samping tulisan itu. Untuk mencapai gua Hira, peziarah harus turun sedikit dari puncak gunung, sekitar 5 meter saja. Namun, medannya cukup sulit, karena harus melewati batu-batu besar. Hanya sebagian besar peziarah laki-laki saja yang bisa sampai ke gua itu, meski sejumlah jamaah perempuan juga ada yang nekat. Saat wartawan detikcom Arifin Asydhad berkunjung ke Jabal Nur, Senin (26/12/2005) lalu, gunung ini sudah ramai dengan peziarah. Bahkan, mereka saling berebut masuk ke gua Hira. Mereka rela berjubel-jubel dan saling dorong di depan gua yang sempit itu, demi untuk masuk ke dalam gua. Memang beragam tujuan para peziarah untuk nekat mendaki gunung ini. Ada jamaah yang meyakini mereka mendapatkan berkah di dalam gua Hira. Ada jamaah yang ingin melakukan salat di atas gunung. Ada jamaah yang ingin merasakan seberapa berat perjalanan Rasulullah ke puncak gunung itu. Dan ada juga yang hanya penasaran dengan gunung yang selalu jadi rebutan peziarah ini. Sebenarnya, pemerintah Arab Saudi tidak menganjurkan para peziarah untuk mendaki gunung ini. Ini terlihat pada papan pengumuman pemerintah Arab Saudi di jalan masuk menuju gunung. Imbauan ini ditulis dalam beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia. “Saudara kaum muslim yang berbahagia: Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan kita untuk naik ke atas gunung ini, begitu pula salat, mengusap batunya, mengikat pohon-pohonnya, dan mengambil tanah, batu, dan pohonnya. Dan kebaikan adalah dengan mengikuti sunah Nabi SAW, maka janganlah Anda menyalahinya”. Meski ada larangan ini, namun peziarah tidak mempedulikannya. Bahkan, seperti kebiasaan tahun lalu, semakin mendekati pelaksanaan ibadah haji, maka Jabal Nur ini akan semakin ramai diserbu oleh para peziarah. Jamil, salah seorang jamaah haji asal Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk salah seorang jamaah haji Indonesia yang berhasil masuk ke dalam gua Hira. Perjuangannya untuk masuk ke gua itu tidaklah ringan, karena harus berebut dengan jamaah asal Turki dan Pakistan. “Saya puas mas,” kata dia setelah masuk ke dalam gua Hira. Menurut dia, gua itu sangat sempit dan gelap, hanya cukup 4 orang. Di gua, Jamil tidak bisa terlalu lama, karena harus bergantian dengan jamaah lain. “Di dalam gua, saya hanya berdoa agar diberi keselamatan di dunia dan akhirat,” kata Jamil. Foto: Para peziarah tampak berebut di mulut Gua Hira. Saling sikut dan dorong sudah biasa.